Serat kapas akan menggembung secara lateral dan
mengkeret ke arah panjangnya bila direndam dalam larutan soda kostik pekat. Perubahan
dimensi ini diikuti oleh perubahan-perubahan penting pada sifat-sifat benang
maupun kain yang terbuat dari
serat tersebut, seperti meningkatnya :
·
Kekuatan
tarik,
· Higroskopisitas (moisture
regan)
·
Daya
serap terhadap zat warna dan
·
Reaktifitasnya
terhadap pereaksi-pereaksi kimia.
Pemberian
tegangan pada benang atau kain selama proses menimbulkan efek kilau
yang bersifat tetap, sedangkan pengerjaan tanpa tegangan memberikan pertambahan mulur yang
besar yang sesuai untuk produk-produk stretch.
Proses
ini disebut merserisasi dan ditemukan pertama kali oleh John Mercer pada tahun
1844 (patennya baru terdaftar kemudian pada tahun 1850) di tengah penelitiannya
mengenai kemungkinan pemisahan berbagai macam hidrat dengan cara
penyaringan fraksional perlahan. Pada saat itu Mercer mengamati adanya perubahan-perubahan
seperti tersebut di atas, kecuali kilau, pada kain kapas yang digunakannya
untuk menyaring larutan natrium hidroksida. Mercer juga mendapati adanya
penurunan konsentrasi larutan di akhir proses yang disebabkan oleh absorpsi preferensial
alkali oleh selulosa.
Efek
kilau baru ditemukan sekitar lima
puluh tahun kemudian (1889) oleh Horace Lowe secara tidak
sengaja ketika mencoba mencegah mengkeret benang yang dimerser dengan cara memberikan
tegangan selama proses.
Gambar
7 - 1 memperlihatkan perubahan penampang lintang serat kapas selama merserisasi
yang berlangsung secara bertahap mulai dari bentuknya yang pipih hingga mencapai
penggembungan maksimum pada tahap 5, tahap 6 dan 7 masing-masing memperlihatkan kontraksi yang terjadi pada saat pencucian
dan pengeringan.
Pengamatan dengan
mikroskop memperlihatkan bahwa penggembungan belum terjadi pada
konsentrasi soda kostik 7%. Pada saat itu serat hanya mengalamai pembebasan
puntiran dan perubahan penampang lintang menjadi lonjong sesuai dengan tahap 1-3 pada
gambar 7 - 1.
Pada
konsentrasi di atas 7% mulai terjadi penggembungan ke arah dalam dan mencapai
maksimum pada konsentrasi sedikit di atas 11% di mana lumen nampak hanya
sebagai celah sempit (tahap 4). Pada konsentrasi yang lebih tinggi mulai terjadi penggembungan ke
arah luar dan mencapai maksimumnya pada konsentrasi 13,5%. Sebagian literatur
menyebutkan penggembunganmaksimum pada konsentrasi 18%. Perbedaan tersebut bisa saja terjadi karena perbedaan serat
kapas dan metoda yang digunakan selama penelitian.
Gambar 8 -1
Perubahan
Penampang Lintang Serat Kapas pada Merserisasi
Satu hal patut mendapat perhatian sehubungan dengan penggembungan maksimum
adalah bahwa proses merserisasi tidak dilakukan pada konsentrasi tersebut melainkan pada konsentrasi yang lebih tinggi,
yaitu sekitar 25 - 30% untuk
menghindari perbedaan derajat merserisasi akibat perubahan konsentrasi
yang mungkin terjadi selama proses.
Perubahan tersebut dapat terjadi karena pengenceran
larutan oleh air yang terbawa pada bahan yang
dikerjakan dalam keadaan basah dan absopsi preferensial alkali oleh selulosa. Pada konsentrasi soda kostik di bawah
19% perubahan tersebut bisa sangat signifikat
seperti dapat dilihat pada gambar 7-2,
dimana sedikit perubahan konsentrasi larutan dapat mengakibatkan perbedaan persen mengkeret yang mencolok pada benang
hasil merserisasi.
Di sisi lain perubahan konsentrasi sebesar 5% pada konsentrasi yang lebih
tinggi, yaitu dari 29% menjadi 24% ternyata
hanya mengakibatkan perbedaan mengkeret kurang dari 1%. Ini
cukup menjadi alasan mengapa proses merserisasi
pada umumnya dilakukan pada selang konsentrasi 25 - 30%.
Gambar 8-2
Pengaruh Konsentrasi dan Suhu Larutan Soda Kostik Terhadap Mengkeret
Benang
Penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan larutan pada suhu yang lebih rendah menghasilkan
efek merserisasi yang lebih nyata seperti nampak dengan jelas pada gambar
7-2, dimana benang hasil merserisasi pada suhu 2°C memiliki persen mengkeret lebih besar
daripada yang dihasilkan oleh suhu 18°C.
Menarik
pula untuk diamati bahwa pada selang konsentrasi antara 25 - 30% hampir tidak
ada perbedaan mengkeret yang cukup berarti antara keduanya, dan ini merupakan
penegasan kembali atas penggunaan larutan natrium hidroksida 25 - 30% pada kebanyakan proses
merserisasi komersial.
Literatur-literatur
lama banyak menyarankan untuk bekerja pada suhu 15 - 20°C, namun
saat ini nampaknya sudah tidak banyak lagi dilakukan dan orang llebih menyukai
merserisasi panas (60 - 97°C) karena memberikan keuntungan seperti
·
Tidak
memerlukan instalasi pendingin,
·
Penetrasi
soda kostik yang lebih baik, dan karena itu
·
Tidak
memerlukan pembasah
Reaksi
yang berlangsung selama proses merserisasi merupakan reaksi eksoterm (melepaskan panas) sehingga
pengerjaan pada suhu rendah pada satu sisi memang
memberikan hasil yang lebih baik, yaitu penggembungan yang lebih besar dan pada proses dengan tegangan akan menimbulkan
kilau yang lebih tinggi. Kenaikan suhu larutan akibat panas yang
dilepaskan reaksi antar alkali dan selulosa
dapat secara signifikan mempengaruhi kerataan hasil proses merserisasi dingin (normal). Dalam hal ini pengontrolan suhu
pada proses merserisasi panas tidak sekrusial merserisasi dingin.
Pengerjaan
pada suhu di bawah 0°C dilaporkan menghasilkan efek-efek khusus pada
kain kapas, dimana perendaman dalam larutan soda kostik 25% pada suhu 10°C
selama 1 menit membuat kain kapas menjadi tembus pandang secar permanen.
Kombinasi dengan merserisasi normal dapat memberikan hasil yang lebih baik, dan sangat
memungkinkan untuk memperoleh sifat tembus pandang dan kilau tinggi secara bersamaan. Proses demikian disebut penyempurnaan
svwss dan biasa dilakukan pada
masa lalu untuk memproduksi kain volie dan organdy.
Waktu
proses yang ditetapkan oleh tiap pabrik tentu saja bervariasi tergantung pada
konstruksi dan keadaan benang atau kain dan jenis mesin yang digunakan, namun umumnya berada di
antara 30 - 90 detik. Waktu proses yang dimaksud adalah waktu yang dibutuhkan oleh soda kostik untuk penetrasi ke dalam
dan bereaksi dengan serat.
Gebhardt
menyebutkan bahwa waktu proses optimum sesungguhnya dapat diketahui dengan mengamati
apa yang disebutnya sebagai titik gelas tepat sebelum bahan memasuki
bagian penstabilan (pencucian awal). Titik ini dapat dikenali berdasarkan kenampakan bahan yang tembus pandang, dan menurut
hasil percobaan biasanya dicapai
setelah 40 - 45 detik. Cara lain untuk menentukan waktu optimum adalah
dengan mengukur elastisitasnya, dimana waktu optimum adalah waktu proses yang
menghasilkan elastisitas maksimum, yang
hanya bisa dicapai bila telah terjadi pembasahan sempurna pada bahan. Namun
demikian harus diingat bahwa angka tesebut (40-45 detik) bukan merupakan sesuatu yang baku karena
alasan-alasan yang sudah disebutkan di atas
tabel 7 - 1 menyajikan data mengenai pengaruh waktu tehadap mengkeret benang
pada berbagai konsentrasi dan suhu larutan merserisasi.
Kilau, salah satu
karakteristik utama produk merserisasi, pada dasarnya merupakan efek yang dihasilkan dari pemantulan cahaya yang jatuh pada permukaan serat, dan sangat bergantung pada bentuk
penampang lintang dan sifat permukaannya. Pada merserisasi dengan
tegangan penampang lintang serat kapas
menjadi lebih bulat dan permukaannya pun lebih halus sehingga cahaya yang jatuh di atasnya akan dipantulkan secara
lebih teratur dan menimbulkan kilau yang lebih baik daripada merserisasi
tanpa tegangan. Namun demikian harus diingat
pula bahwa penampang lintang bulat bukanlah satu-satunya penyebab timbulnya kilau, karena serat sutera yang
berpenampang lintang segitiga dan hasil penyempurnaan kalender juga memiliki
kilau tinggi.
Tabel 8 -1
Mengkeret Benang Kapas pada
Merserisasi
Pemberian
tegangan dapat dilakukan dengan salah satu dari kedua cara berikut, yaitu
(1) benang atau kain mula-mula dibiarkan mengkeret hingga maksimal lalu
dikembalikan ke panjang atau lebarnya semula dengan penarikan, atau (2) sedikit
ditegangkan tanpa penarikan sejak awal proses sehingga mengkeret yang
terjadi saat kontak dengan larutan soda kostik akan menimbulkan efek tegangan
yang besarnya
tergantung pada konsentrasi soda kostik yang digunakan.
Cara
kedua biasanya memberikan efek kilau yang lebih tinggi daripada cara pertama,
namun harus dipahami bahwa penyerapan akan berlangsung relatif lebih sulit
dalam keadaan tegang, dan sesunguhnya kebanyakan proses merserisasi dilakukan menurut cara (1).
Cara manapun yang dilakukan semakin besar tegangan
atau penarikan pada bahan maka semakin tinggi efek kilau yang dihasilkan.
Salah satu faktor yang turut menentukan kilau serat namun
nampaknya jarang disinggung
adalah jenis serat. Pengamatan dengan mikroskop memperhatikan bahwa serat panjang (long staple) memiliki
kerataan yang lebih tinggi sehingga dengan sendirinya memiliki kilau yang lebih
baik. Faktor tegangan juga menjadi penyebab rendahnya kilau benang yang
terbuat dari serat pendek.
Gambar 8-3
Penampang Lintang Serat Panjang dan
Pendek
Pada benang dari serat pendek gaya kohesi antar seratnya rendah sehingga
masing-masing serat tersebut menjadi lebih mudah bergeser satu sama lain (slip) pada
penarikan dan menurunkan efek tegangan. Kain yang terbuat dari anyaman
satin atau keper umumnya akan menimbuikan efek kilau yang tinggi, terutama
karena kain semacam ini memiliki banyak benang timbul pada permukaannya yang akan melipatgandakan efek kilau hasil merserisasi.
Pemberian tegangan selama
merserisasi, seperti telah disinggung di muka, juga akan menaikkan kekuatan tarik secara sangat berarti. Namun sebagai konsekuensinya mulur serat sebelum putus akan
berkurang. Pertambahan mulur yang besar dapat dicapai
dengan mersen'sasi tanpa tegangan. Gambar 7 -
4 memperlihatkan hasil percobaan dengan kapas pada berbagai konsentrasi soda kostik selama 1 jam pada suhu 24 - 25 C dengan tegangan.
Nampak jelas bahwa kenaikan kekuatan tarik diikuti oleh penurunan mulur serat yang berlangsung hingga
konsentrasi 15%. Keduanya tidak lag!
menampakkan perubahan pada konsentrasi soda kostik yang lebih tinggi. Fakta lain yang juga menarik
untuk diamati adalah bahwa, berdasarkan
pengamatan atas perubahan diagram dirfaksi sinar X, derajat merserisasi dan perubahan sifat mekanik serat
menjadi petunjuk bahwa kenaikan
kekuatan tarik pada serat lebih disebabkan oleh perubahan struktur kehalusannya.
Gambar
8-4
Pengaruh
Konsentrasi Soda Kostik (NaOH) Terhadap Sifat-Sifat Fisik dan Mekanik
Serat Kapas
Kenaikan
kekuatan tarik pada benang hasil merserisasi, seperti diperlihatkan pada tabel
7 - 2, lebih ditentukan oleh konsolidasi struktur benang dan bukannya pada pertambahan kekuatan tarik
masing-masing serat penyusun benang tersebut. Oleh
karena itu tidak mengherankan bila puntiran memberikan kekuatan tarik yang lebih besar daripada yang dapat diberikan dengan
merserisasi. Kasusnya menjadi berbeda
untuk benang gintir. Pemberian puntiran yang lebih tinggi memang menaikkan
kekuatannya akan tetapi nilainya ternyata masih jauh di bawah yang dapat
dicapai dengan merserisasi.
Tabel
8-2
Pengaruh
Puntiran dan Merserisasi Terhadap Kekuatan Tarik Benang
Agaknya
memang belum ada suatu aturan sederhana yang dapat menerangkan pertambahan
kekuatan tarik pada benang akibat merserisasi; dua variabel pokok yang
harus diperhitungkan dalam hal ini adalah penetrasi soda kostik dan penggembungan,
di mana keduanya sangat bergantung pada struktur ruang benang yang
bersangkutan (dan ini berhubungan erat dengan nomor benang dan puntiran),
Namun demikian secara umum dapat dikatakan bahwa penggembungan yang terjadi pada
masing-masing serat penyusun benang membuat struktur benang menjadi lebih rapat
dan dengan penarikan yang diberikan selama
proses merserisasi serat-serat tersebut akan terorientasi lebih sejajar dengan sumbu benang, sehingga pembebanan
gaya tarik pada benang akan terdistribusi lebih merata.
8.1 Proses Merserisasi
Dari
sekian banyak keuntungan yang bisa diperoleh dari proses merserisasi kebanyakan
pabrik pada dasarnya lebih tertarik pada kilau, peningkatan daya serap zat
warna dan kekuatan tarik. Namun demikian, mengingat bahwa masing-masing sifat
tersebut memiliki perilaku yang tidak sama terhadap satu faktor tertentu (misalnya tegangan) maka
ketiganya tidak bisa dicapai secara maksimum pada saat bersamaan, dan pabrik pun harus menetapkan skala prioritas sebelum menetapkan
kondisi proses.
Skala
proses yang ditetapkan oleh pabrik tentu saja bisa berbeda tergantung pada tujuan
proses yang ingin dicapai oleh masing-masing pabrik. Karena itu kondisi proses
yang ditetapkan pun bisa bervariasi. Meskipun demikian, pada umumnya proses komersial
menggunakan larutan soda kostik 25 - 30% pada suhu
sehitar 15 - 20°C untuk merserisasi normal dan 60°C untuk merserisasi panas dengan waktu kontak 30 - 90 detek. Bila kilau
bukan merupakan tujuan utama dan proses
merserisasi hanya dimaksudkan untuk menghilangkan nep kapas maka konsentrasi
soda kostik bisa dikurangi menjadi 15%.
Merserisasi
dapat dilakukan dalam keadaan grey maupun sesudah pengelantangan.
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Merserisasi
grey membantu menghilangkan sebagian malam (wax) pada kapas sehingga
pemakaian soda kostik pada pemasakan dapat dikurangi. Penghematan masih
bisa dilakukan lebih jauh lagi dengan cara menghilangkan tahap akhir pencucian
dan penetralan pada proses merserisasi sehingga sejumlah kecil alkali yang
tertinggal pada bahan dapat dimanfaatkan untuk membantu pemakaian soda kostik
pada pemasakan. Daya serap dan reaktifitas yang lebih tinggi terhadap zatzat
kimia juga membuka peluang untuk penghematan pada pengelantangan. Keuntungan
lain adalah bahwa merserisasi grey disebutkan memberikan pegangan lebih
lembut daripada merserisasi sesudah pengelantangan. Pada merserisasi grey
penetrasi alkali berlangsung lambat dan tidak merata sehingga disarankan untuk mengerjakan
bahan dengan air atau larutan alkali encer beberapa menit sebelum proses,
atau lebih baik lagi dengan menambahkan pembasah tahan alkali (1%) ke dalam
larutan merserisasi, untuk mempercepat pembasahan. Sedangkan benang atau
kain dengan kekuatan relatif rendah sebaiknya dimerser dalam keadaan grey.
Di samping itu harus tahan terhadap
alkali pembasah untuk proses merserisasi juga harus:
1.
Memiliki
daya pemasahan tinggi,
2.
Tidak
teradsopsi secara preferensial oleh serat,
3.
Larut
dalam larutan soda kostik,
4.
Tidak
menimbulkan busa maupun keruh pada larutan,
5.
Tidak
meninggalkan endapan pada bahan dan bagian-bagian mesin,
6.
Mudah
dihilangkan dari bahan, dan
7.
Tidak
mewarnai serat secara permanen
Kita
mengenal dua macam pembasah yang biasa digunakan dalam merserisasi, yaitu
dari jenis kresilat dan non kresilat. Asam-asam kresilat seperti campuran o-m-,
dan p-kresol, sesuai dengan namanya, termasuk dari jenis kresilat. Daya pembasahannya akan
meningkat dengan penambahan zat-zat aditif semacam alkohol polihidrat (C18), butanol, 2-etil heksanol, dan polietilena
glikol. Sedangkan dari jenis non
kresilat kita akan dapati natrium dodesil difenil oksida disulfonat, 2- etil
heksil alkohol, dan natrium butil difenil sulfonat.
Penetrasi dapat pula ditingkatkan dengan menaikkan suhu
larutan merserisasi (merserisasi panas). Pada suhu yang lebih tinggi
viskositas larutan soda kostik akan
turun dan penetrasi pun berlangsung lebih mudah.
Kekurangan lain dari proses
merserisasi grey adalah ketidakrataan efek merserisasi
sebagai akibat pemanasan lokal yang timbul dari reaksi eksoterm antara kanji pada kain yang berasal dari
pertenunan dan soda kostik. Proses daur ulang natrium hidroksida pun menjadi lebih sulit dan mahal karena adanya
kontaminasi oleh lemak dan malam
kapas selama merserisasi. Oleh sebab itu lebih disarankan untuk
melaksanakan merserisasi sesudah penghilangan kanji atau lebih baik lagi
sesudah pemasakan.
Bila pengelantangan kain
dilakukan dalam bentuk untaian (rope) seperti pada mesin Jet Dyeing, dan buka dalam bentuk lebar maka merserisasi yang
dilakukan sesudahnya juga berfungsi
menghilangkan bekas-bekas lipatan yang terbentuk selama pengelantangan. Berbeda dengan pengelantangan dalam bentuk lebar,
pada mesin kontinyu, kain yang berasal
dari proses dalam bentuk untaian umumnya
selalu dalam keadaan basah dan disimpan dalam gerobak kain untuk kemudian dibawa ke mesin merserisasi. Melihat
keadaan selama proses maka besar
kemungkinan kain memiliki kandungan air ke arah panjangnya air pada bagian atas tumpukan kain secara perlahan akan
mengalir turun ke bawah karena gaya gravitasi bumi dan
mengakibatkan perbedaan kandungan air di sepanjang kain. Ini akan menimbulkan ketidakrataan derajat merserisasi pada kain
dan baru akan nampak setelah proses
pencelupan berupa belang. Satah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah
dengan melewatkan kain di antara rol-rol pemeras sebelum merserisasi agar kandungan airnya berkurang dan merata di
seluruh bagian bahan.
Masalah lain yang timbul
dari merserisasi dalam keadaan basah adalah pengenceran oleh air yang terdapat
pada bahan. Oleh karena itu untuk mempermudah
pengontrolan soda kostik dan mendapatkan hasil yang lebih baik merserisasi sebaiknya dikerjakan dalam keadaan
kering. Kain yang berasal dari proses
pengelantangan dalam bentuk lebar penanganannya biasanya lebih mudah karena sudah berada dalam keadaan kering, meski
sesungguhnya tidak selalu sepenuhnya kering (masih sedikit lembab).
Proses merserisasi pada prinsipnya terbagi atas beberapa
tahap proses, yaitu impregnasi larutan, penegangan, penstabilan (pencucian
awal), dan pencucian akhir
serta penetralan. Penegangan dapat dilakukan sejak awal proses atau sesudah perendamperasan. Pada proses konvensional
dengan mesin jenis rantai kain mula-mula dilewatkan pada larutan soda
kostik dan sepasang rol pemers untuk
meratakan pembasahan serat menghilangkan kelebihan alkali pada kain.
Selanjutnya kain dilewatkan pada serangkaian tambur berjumlah 12 untuk memberikan kesempatan bagi berlangsungnya reaksi
antara soda kostik dan serat, Setelah
keluar dari perendamperasan yang kedua kain ditegangkan ke arah pakan dengan
stenter untuk dikembalikan kepada lebarnya semula. Penegangan ke arah panjang
kain dilakukan dengan mengatur kecepatan relatif rol pemeras pertama terhadap
yang kedua. Perendamperasan yang kedua tidak selalu perlu dilakukan dan sangat
tergantung pada sifat bahan, dimana kain-kain tebal pada umumnya memerlukan dua kali perendamperasan untuk
membantu mempercepat penetrasi
larutan. Laju dan derajat penetrasi juga dapat ditingkatkan dengan menggunakan
konsentrasi natrium hidroksida yang lebih
rendah pada perendamperasan pertama, mengingat penetrasi akan lebih
mudah untuk larutan dengan viskositas lebih rendah. Di ujung stenter satu unit
pencucian yang bekerja berdasarkan sistem alur balik (gambar 6- 5 counterflow)
untuk mengurangi kandungan alkali pada bahan. Pada bagian ini, yang juga sering disebut bagian penstabilan,
pencucian kain berlangsung masih dengan
tegangan dan baru boleh dilepaskan bila kandungan alkali telah mencapai kurang
dari 5% agar tidak terjadi mengkeret lanjutan saat pencucian akhir yang bisa mengurangi kestabilan di mesin kain.
Pengeringan biasanya dilakukan dengan silinder pengering suhu sekitar
110°C.
Gambar
8-5
Sistem
Alir Balik pada
Pencucian
Sistem
alir balik memungkinkan pabrik melakukan penghematan cukup berarti dalam pemakaian air maupun
zat-zat kimia. Prinsipnya adalah dengan memanfaatkan
kembali larutan yang berasal dari tiap tahap pencucian (berupa campuran air dan alkali yang semula tedapat pada
bahan) untuk pencucian pada tahap
sebelumnya. Dengan bantuan pompa sirkulasi dan penyedotan larutan tersebut
disirkulasikan balik berlawanan arah dengan jalannya kain sehingga alkali akan
terakumulasi secara bertahap mengikuti aliran larutan dan mencapai maksimum
pada bak penampung terakhir (pada gambar adalah bak III). Larutan yang terkumpul pada bak III selanjutnya dibawa ke
unit daur ulang soda kostik, dan hasilnya
dapat digunakan kembali untuk berbagai proses yang menggunakan alkali.
Gambar
berikut di bawah ini adalah skema sederhana mesin merserisasi jenis rantai.
Gambar-6
Mesin Merserisasi Dengan Rantai
Keterangan :
1. Alkali
tank
2. Rantai
3. Pencucian
panas
4.
Pencucian dingin dan penetralan
Pada mesin perfects penegangan kain ke arah lebar dilakukan pada bagian stenter dengan menggunakan penjepit otomatis yang
terpasang pada rantai yang terdapat di kedua sisi mesin, sedangkan jenis Optima
menggunakan serangkaian rol lengkung dan rot pengantar kain yang
dirancang khusus untuk mendapatkan efek penegangan ke arah lebar. Penegangan
ini dipengaruhi langsung oleh tegangan ke
arah panjang kain. Perbedaan friksi antara
kain dan rol di bagian tengah dan tepi menyebabkan bertambahnya kerapatan tenunan atau jeratan di kedua pinggir
kain, sehingga pada proses pencelupan
kedua bagian kain tersebut akan nampak lebih tua. Ini merupakan salah satu kekurangan mesin tanpa rantai pada
umumnya dibandingkan dengan jenis rantai. Perbedaan lainnya terletak
pada saat pemberian tegangan; mesin jenis
rantai kain mula-mula dibiarkan mengkeret dan baru ditegangkan kembali
pada bagian stenter, sedangkan pada mesin tanpa rantai tegangan sudah diberikan
sejak awal proses.
Gambar 8-7
Mesin Merserisasi Tanpa Rantai
Keterangan :
1. Padder
2.
Alkali
tank
3.
Pencucian
air panas
4.
Pencucian
air dingin
5.
Padder
6. Rol penarik
Pada tahun 1987 Kusters
memperkenalkan teknologi baru pada mesin penyempurnaan
tekstil yang semula ditujukan untuk proses pemasakan dan pengelantangan secara
simultan. Teknologi ini, mereka menyebutnya fexnip, memungkinkan penambahan larutan dalam jumlah besar
secara merata, terkontrol dan reproducible pada dua sisi kain yang
dikerjakan dalam keadaan basah (wet/wet treatment) tanpa
resiko terjadinya pengenceran karena pertukaran larutan seperti sering terjadi pada sistem perendaman perasan
konvensional. Konstruksinya juga
memungkinkan tercapainya perbedaan konsentrasi yang tinggi antara
larutan pada bak perendaman dan yang terdapat pada kain, sehingga difusi
larutan dapat berlangsung jauh lebih cepat, yaitu hanya sekitar 10 detik. Dalam
perkembangan selanjutnya teknologi ini juga dimanfaatkan untuk perendamperasan pada proses penyempurnaan lainnya,
termasuk merserisasi. Dengan teknologi ini pemakaian zat-zat kimia dapat
dikurangi secara signifikat sehingga tingkat pencemaran lingkungan pun menjadi
lebih rendah dibandingkan sistem konvensional. Proses merserisasi yang
menggunakan teknologi ini sering pula disebut ecomerce, yaitu
proses merserisasi ramah lingkungan.
Merserisasi
kain rajut semula dianggap terlalu suit karena kondisinya yang paling bertentangan.
Penarikan pada merserisasi yang diyakini sebagai bagian untuk mendapatkan
kilau, dapat mengakibatkan turunnya elastisitas dan kestabilan dimensi
kain rajut sehingga perkembangannya sedikit terhambat dan tidak sepesat
proses untuk kain tenun. Baru pada awal tahun 1970-an beberapa teknik secara
serius mulai dikembangkan untuk merserisasi kain rajut pada mesin tanpa rantai
dengan memanfaatkan peralatan pengontrol dengan tegangan ataupun dengan ban bejana (convenyor
belt) sebagai pengantar kain.
Masalah lainnya adalah bekas lipatan bersifat permanen
pada hasil merserisasi kain rajut budnar (tubular). Cara yang selama ini
dilakukan adalah memotong/membelah kain
tersebut agar dapat diproses dalam bentuk lebar agar tidak meninggalkan bekas lipatan. Ini pun
ternyata belum menyelesaikan masalah karena
berbedaan friksi antara kain dan rol pengantar di bagian tengah dan pinggir menimbulkan perbedaan kerapatan jenis jeratan ke
arah lebar kain yang dapat mengakibatkan timbulnya belang pada pencelupan.
Untuk mengatasi masalah tersebut dua
perusahaan pembuat mesin tekstil Jepang, Toyobo-Oshima dan Sando Iron Works, melakukan terobosan cemerlang
dengan menciptkan mesin merserisasi yang dilengkapi penyembur udara
berkekuatan tinggi (air jet) untuk menggelembungkan
kain selama proses penstabilan sehingga terbebas dari bekas lipatan dan
ketidakrapatan jeratan. Prinsip ini kemudian
diikuti oleh beberapa mesin di Eropa, terutama Dornier (lihat gambar
7-8)
Mesin memiliki
dua penyembur udara, masing-masing untuk penstabilan dan pengeringan. Kain
mula-mula dilewatkan pada larutan soda kostik melalui serangkaian rol-rol
pengantar, lalu diperas dan langsung masuk ke bagian penstabilan, dimana kain
digelembungkan dan disemprot dengan air untuk menghilangkan kandungan soda
kostiknya. Selanjutnya kain masuk ke bagian pengeringan dan dikeluarkan melalui
plaiter.
Gambar 8-8
Mesin Merserisasi Kain
Rajut Bundar Dornier
8.2
Merserisasi Benang
Merserisasi
benang biasanya dilakukan secara partai dalam bentuk untaian impregnasi
benang pada larutan dilakukan dengan bantuan rol-rol pembawa yang dapat berputar dan
berfungsi mengatur agar kontak dengan larutan terjadi di seluruh bagian untaian, dan rol pemeras yang
berhubungan dengan salah satu dari
kedua rol pembawa (gambar 7-9). Di bawah rol-rol pembawa tedapat bak larutan alkali yang dapat bergerak naik-turun dan
bak penampung pencucian yang dapat
bergeser secara horisontal. Sementara itu di atasnya tedapat pipa-pipa penymprotan
air untuk pencucian.
Perendaman
dimulai dengan menaikkan bak alkali dan memutar rol-rol pembawa agar seluruh bagian untaian
benang mengalami kontak dengan larutan. Salah satu
kedua rol tersebut dapat digeser secara horisontal untuk mengatur tegangan benang. Untuk membantu penyerapan larutan benang
sebaiknya berada dalam keadaan kendur
dan diberi kesempatan mengkeret selama perendaman. Setelah perendaman selesai bak alkali diturunkan kembali
ke tempatnya semula dan digantikan
oleh baik penampung pencucian air disemprotkan dari atas dan benang ditegangkan selama pencucian untuk mendapatkan
kilau. Selanjutnya benang dilepaskan dari rol dan dinetralkan dengan asam encer (1 - 3%). Pengeringan benang
biasanya dilakukan dengan menghembuskan udara panas.
Gambar 8- 9
Prinsip Sederhana Mesi Merserisasi
Benang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar